Senin, 10 April 2017

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih atau kaidah-kaidah hukum islam merupakan salah satu kekayaan peradaban islam, khususnya dibidang hukum yang digunakan sebagai solusi di dalam menghadapi problem kehidupan yang praktis sesuai dengan aturan yang terdapat dalam alqur’an dan hadis. Kaidah-kaidah tersebut masih relevan dan bias dikembangkan lebih jauh untuk digunakan padamasa sekarang, dengan mengedepan kansikap yang moderat sebagai UmmatanWasathan di dalam benturan-benturan peradaban masa kini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa arti dari kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة
2.      Tuliskan dasar hukum al quran tentang kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة
3.      Berikan contoh tentang kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة












BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum.
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Secara bahasa, al 'adah diambil dari kata al 'awud ( العود) atau al mu'awadah ( المؤدة) yang artinya berulang ( التكرار). Jadi al audah adalah tiap-tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Terdapat istilah lain dari al 'adah, yaitu al 'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. sedangkan al urf secara istilah yaitu: 'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.
Sedangkan arti muhakkamah adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.
Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang  hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat. Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan syari'at.
2.      Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3.      Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4.      Tidak berlaku dalam ibadah mahdah.
5.      Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.

B.     Dasar Hukum Kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّم
Untuk menguatkan kaidah ini terdapat dasar hukum didalam Al-Qur’an dan hadist, diantaramya:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين (١٩٩)
Artinya: Jadilah engka pemaaf Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.(QS. Al A’raf: 199).
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
Artinya: Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).

C.    Pembagian Kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَة
Di antara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah muhakkamah adalah sebagai berikut:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
Artinya: Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alas an atau argument atau dalil) yang wajib diamalkan. Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
Artinya: Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum. Maksud kaidah ini adalah dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
Artinya: Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi. Adapun Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ 
Artinya: Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi. Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
Artinya: Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat. Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat. Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
Artinya: Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka. Maksdnya kaidah adalah Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
Artinya: Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash. Maksud kaidah ini adalah Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash. Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
Artinya: Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan. Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
Artinya: Hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat. Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik. 
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
Artinya: Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan. Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi dapat kami simplkan dari isi makalah kami adalah kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ Artinya: Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum.
Dasar hukm al qu’ran dari kaidah ini, yakni:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين (١٩٩)
Artinya: Jadilah engka pemaaf Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.(QS. Al A’raf: 199).
Contoh dari kaidah ini yakni: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.


1 komentar:

  1. The Eight-Wheel Classic - TITIAN Arts
    The eight-wheel classic bicycle is available in six 토토 sizes. The ford escape titanium Bicycle Wheel https://octcasino.com/ is a classic bicycle made in USA, ventureberg.com/ but there are three variations in

    BalasHapus

CONTOH MAKALAH IKAN LELE

TUGAS MANDIRI KEWIRAUSAHAAN IKAN LELE Dosen Pengampu: Ambariyani, S.E, M.E.Sy Disusun oleh:     ABI WISNU BAIDIL...